100 Hari Prabowo-Gibran: Awal Porak-Porandanya Negara?


Pemerintahan Prabowo-Gibran baru berjalan 100 hari, namun berbagai kebijakan dan langkah yang diambil justru memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Alih-alih membawa harapan baru, kebijakan yang diimplementasikan malah mengarah pada permasalahan serius, baik dari segi ekonomi, politik, hukum, lingkungan, hingga kebebasan demokrasi. Berikut ini adalah beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa pemerintahan baru ini justru berpotensi merusak tatanan negara daripada memperbaikinya.


1. Menambah Lembaga, APBN Dikuras

Salah satu langkah yang diambil oleh pemerintahan baru adalah penambahan lembaga negara. Padahal, di tengah kondisi ekonomi yang menantang, langkah ini justru dianggap tidak efisien. Semakin banyak lembaga yang dibentuk berarti semakin besar pula anggaran yang harus dikeluarkan oleh negara untuk operasionalnya.


APBN yang seharusnya difokuskan untuk sektor yang lebih produktif justru digunakan untuk membiayai birokrasi yang semakin gemuk. Penambahan lembaga ini juga berisiko memperburuk tumpang tindih kewenangan antarinstansi, sehingga efektivitas kebijakan semakin diragukan.


2. Mewarisi PSN Bermasalah, Beban yang Tak Kunjung Usai

Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diwarisi dari pemerintahan sebelumnya masih menyimpan berbagai permasalahan. Mulai dari proyek yang mangkrak, pembebasan lahan yang bermasalah, hingga dampak lingkungan dan sosial yang tidak dipikirkan dengan matang.


Alih-alih mengevaluasi proyek-proyek tersebut, pemerintahan Prabowo-Gibran justru tetap melanjutkannya tanpa ada solusi nyata. Jika tidak segera ditangani dengan bijak, PSN yang awalnya digadang-gadang sebagai motor penggerak ekonomi malah bisa menjadi beban jangka panjang bagi negara.


3. Pejabat Kementerian Problematik: Kepemimpinan yang Diragukan

Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pemerintahan adalah kualitas pejabat yang memimpin kementerian dan lembaga negara. Namun, di awal pemerintahan ini, banyak nama pejabat yang diangkat justru memiliki rekam jejak kontroversial, mulai dari dugaan kasus hukum, konflik kepentingan, hingga minimnya kompetensi di bidang yang mereka pimpin.


Keputusan ini memunculkan pertanyaan besar: apakah pemerintahan ini benar-benar ingin menempatkan orang-orang terbaik, atau hanya membagi-bagikan kekuasaan kepada kelompok tertentu?


4. Pagar Laut Bermasalah, Menteri Saling Bantah

Kebijakan pagar laut yang bertujuan untuk mengamankan perbatasan dan mengatasi illegal fishing justru menuai kritik. Proyek ini dianggap tidak jelas perencanaannya dan berpotensi merugikan nelayan tradisional.


Lebih buruk lagi, terjadi ketidaksepakatan di antara para menteri dalam pemerintahan terkait proyek ini. Saling bantah di ruang publik menunjukkan ketidakharmonisan dalam kabinet dan mengindikasikan kurangnya koordinasi dalam pengambilan kebijakan strategis.


5. Mengucilkan Isu Deforestasi, Lingkungan Terancam

Deforestasi tetap menjadi masalah besar di Indonesia, terutama dengan semakin maraknya eksploitasi hutan untuk kepentingan industri. Sayangnya, isu ini justru tidak mendapat perhatian serius dari pemerintahan baru.


Sebaliknya, kebijakan yang ada justru semakin mempermudah izin eksploitasi hutan oleh korporasi besar, sementara masyarakat adat dan kelompok lingkungan yang berusaha mempertahankan ekosistem malah mendapat tekanan. Dengan pendekatan semacam ini, upaya perlindungan lingkungan justru semakin terpinggirkan.


6. Represifitas Aparat di Mana-Mana, Demokrasi Terancam

Dalam 100 hari pertama, tanda-tanda kembalinya otoritarianisme semakin jelas. Aparat keamanan semakin represif dalam menghadapi demonstrasi dan kritik dari masyarakat.


Kasus pembungkaman aktivis, kriminalisasi terhadap mereka yang bersuara kritis, serta tindakan represif dalam aksi protes menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat semakin terancam. Jika tren ini terus berlanjut, demokrasi yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun bisa kembali mundur.


7. Prank PPN 12%: Kebijakan yang Tak Jelas

Pemerintah sempat mengumumkan rencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Namun, kebijakan ini berubah-ubah dan akhirnya dibatalkan setelah menuai kritik luas dari masyarakat.


Ketidakkonsistenan dalam kebijakan fiskal semacam ini mencerminkan kurangnya perencanaan yang matang. Kebijakan pajak seharusnya dibuat dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat, bukan sekadar uji coba yang akhirnya justru membuat kebingungan.


8. Makan Bergizi Gratis Tak Siap, Anggaran Strategis Dipangkas

Program makan bergizi gratis yang dijanjikan selama kampanye tampaknya belum siap dijalankan. Persiapan yang minim dan skema pendanaan yang belum jelas membuat program ini masih sebatas wacana.


Yang lebih memprihatinkan, untuk mendanai program ini, pemerintah justru memangkas anggaran dari sektor-sektor strategis seperti pendidikan dan kesehatan. Jika tidak dikelola dengan baik, program ini bisa menjadi beban negara dan justru merugikan sektor lain yang lebih mendesak.


9. Konsesi Tambang bagi Kampus: Upaya Membungkam Akademisi?

Kebijakan pemerintah yang memberikan konsesi tambang kepada kampus menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ini murni strategi ekonomi, ataukah ada agenda terselubung untuk membungkam suara kritis dari dunia akademik?


Kampus seharusnya menjadi tempat kebebasan berpikir dan berinovasi, bukan alat untuk kepentingan politik atau ekonomi kelompok tertentu. Jika kebijakan ini terus berlanjut, independensi dunia akademik bisa terancam.


10. Tidak Serius Menuntaskan Pelanggaran Hukum dan HAM

Indonesia masih memiliki catatan panjang kasus pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM) yang belum terselesaikan. Sayangnya, dalam 100 hari pertama, tidak ada langkah konkret dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus ini.


Sebaliknya, pendekatan yang diambil justru cenderung melindungi kepentingan elit dibandingkan menegakkan keadilan bagi para korban. Ketidakseriusan dalam menangani masalah ini menandakan bahwa penegakan hukum masih jauh dari harapan.


Kesimpulan: Negara Menuju Porak-Poranda?

100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran seharusnya menjadi momen untuk membuktikan komitmen mereka dalam memperbaiki bangsa. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: birokrasi semakin gemuk, kebijakan tidak matang, demokrasi semakin terancam, dan berbagai sektor mengalami ketidakpastian.


Jika pola ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia akan menghadapi tantangan yang semakin besar. Apakah pemerintahan ini akan mampu mengubah arah dan membuktikan bahwa mereka benar-benar bekerja untuk rakyat? Ataukah ini hanya awal dari porak-porandanya negara?Waktu yang akan menjawab.

Sumber:

Yayasan lembaga bantuan hukum Indonesia