artikel tentang kekerasan seksual
PENDAHULUAN
Kekerasan seksual merupakan tindakan yang dilakukan dengan tujuan guna memperoleh tindakan seksual atau tindakan lain yang diarahkan pada seksualitas seseorang dengan menggunakan paksaan tanpa memandang status hubungannya dengan korban. Hal ini bermakna bahwasannya kekerasan seksual merupakan suatu tindakan kekerasan yang dilakukan seseorang dengan cara memaksa atau mendesak untuk melakukan hubungan seksual yang tidak dikehendaki korban. Kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa saja dan kapan saja. Pelecehan sangat sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari baik itu dalam lingkungan keluarga, masyarakat, pekerjaan, pendidikan, maupun teman sebaya. Pelecehan pada umumnya sering menimpa orang-orang yang lemah dan tidak berdaya.
Dalam kasus kekerasan seksual bukan hanya mencederai pada kekerasan fisik, namun secara tidak langsung juga mencederai kondisi mental pada korban. Dampak mental yang dialami korban akibat adanya kekerasan seksual tidak mudah dihilangkan dibandingkan dengan kekerasan fisik yang juga dialaminya, dibutuhkan waktu yang cukup lama agar korban benar-benar pulih dari kejadian yang dialaminya. Terdapat banyak macam bentuk kekerasan seksual seperti pemerkosaan, menyentuh badan orang lain dengan sengaja, ejekan, rabaan, siulan, merendahkan dan sebagainya. Selain itu, kekerasan seksual berbasis gender terhadap perempuan kerap terjadi pula di lingkungan pendidikan seperti perguruan tinggi. Institusi pendidikan yang semestinya menjadi tempat untuk tumbuh dan berkembangnya peserta didik dalam mencari ilmu serta pengembangan diri yang semestinya menjadi tempat atau ruang yang aman dan nyaman bagi mereka. Tetapi dalam hal tersebut tidak berlaku untuk pelaku kasus kekerasan seksual khususnya yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Pelecehan seksual yang terjadi dalam dunia pendidikan menjadi suatu hal yang sangat penting. Dimana sejatinya perguruan tinggi merupakan tempat utuk menimba ilmu tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk para pelaku kekerasan seksual. Tidak banyak korban berani untuk speak up atau melaporkan kepada pihak berwenang karena stigma buruk di masyarakat terhadap korban kekerasan masih kuat, apalagi para pelaku mempunyai kuasa atau jabatan di dalam institusi pendidikan.
Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang kerap sekali terjadi dilingkungan perguruan tinggi tersebut seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) mengeluarkan peraturan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Hal tersebut bisa menjadi landasan hukum dan hadir sebagai langkah awal untuk menanggapi keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Peraturan tersebut dinilai detail dalam mengatur langkah-langkah yang penting di perguruan tinggi untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. Di samping itu juga membantu pimpinan perguruan tinggi dalam mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah berulangnya kembali pelecehan seksual yang menim para civitas akademika.
Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis ingin menganalisis bagaimana prosedur penanganan tindak pidana kekerasan seksual di perguruan tinggi dan juga pencegahannya agar hal tersebut setidaknya meminimalisir kegiatan hal tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang relevan bagi perguruan tinggi dan pemerintah, agar dapat memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual serta meningkatkan perannya dalam pencegahan dan penanganan dilingkup perguruan tinggi.
PEMBAHASAN
3.1. Kekerasan Seksual Pada Lingkungan Pendidikan
Sebagai negara hukum, Indonesia memberikan perlindungan bagi setiap warga negaranya dengan cara menyediakan lembaga yang mampu memberikan keadilan dalam bentuk peradilan yang bebas dan netral. Bentuk perlindungan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh negara salah satunya ialah memberikan perlindungan hukum melalui proses peradilan apabila terjadi tindak pidana. Salah satu pihak yang sangat membutuhkan perlindungan dalam suatu tindak pidana adalah korban tindak pidana. Pentingnya korban untuk diberikan perhatian dan perlindungan bermula dari pemikiran bahwa korban merupakan pihak yang dirugikan dalam terjadinya suatu tindak pidana, sehingga harus mendapatkan perhatian dan pelayanan dalam memberikan perlindungan terhadap kepentingannya. Maraknya kasus pelecehan seksual pada perempuan yang saat ini sedang terjadi terutama mahasiswi maka perlu korban tersebut dilindungi dengan acuan hukum yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang TPKS dan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 Tentang TPKS secara substansi bertujuan untuk:
mencegah segala bentuk kekerasan seksual;
menangani, melindungi, dan memulihkan korban;
melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku;
mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan
menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.
Sedangkan didalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 Tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi, kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, menghina, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang menganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi denga naman dan optimal. Melihat penjelasan pasal diatas bahwasannya kekerasan seksual dapat terjadi di semua orang, baik laki-laki, perempuan, anak, remaja, maupun orang tua. Adapun tujuan peraturan tersebut dikeluarkan merupakan upaya pencegahan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi dan memperkuat penanganan kekerasan seksual dengan melalui pendampingan, pemulihan korban, sanksi administratif dan juga perlindungan.
Kekerasan seksual dapat terjadi karena berbagai macam seperti relasi kuasa, relasi gender, dan rape culture. Ketimpangan relasi kuasa terkait dengan pihak yang memiliki kewenangan dipandang memeliki peluang untuk menyalahgunakan kekuasaanya untuk melakukan kekerasan seksual terhadap orang yang dipandang lemah atau dibawah pengawasannya. Pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi dapat dilakukan oleh civitas akademika, baik dosen, staff, karyawan, dan mahasiswa. Dalam konteks perguruan tinggi, dosen mempunyai kekuasaan terhadap mahasiswa diantaranya dalam bentuk pembimbingan, penugasan, dan evaluasi. Akibatnya, oknum dosen dapat memanfaatkan kewenangan tersebut untuk melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswa. Untuk ketimpangan relasi gender terjadi karena konstruksi gender dimana biasanya laki-laki bersikap tidak adil kepada perempuan. Sedangkan rape culture, tubuh perempuan menjadi objek dan layak dilecehkan, misoginis, serta tidak memberikan hak dan perlindungan kepada perempuan.
Secara umum, kekerasan seksual dapat dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu verbal, tertulis, dan tindakan. Kekerasan seksual lisan dapat berupa gurauan atau komentar tentang perempuan sebagai objek seks seerti istilah seksis yang membuat tidak nyaman, merendahkan mengenai tampilan (bentuk tubuh atau pakaian seseorang), pembicaraan bernuansa seksual, dan mengajukan pertanyaan tentang kehidupan seksual seseorang. Untuk kekerasan seksual tertulis atau dalam bentuk gambar seperti memamerkan, mendistribusikan gambar perempuan sebagai objek seks (emotikon atau stiker berbau seksual) secara manual maupun elektronik. Sedangkan kekerasan seksual dalam bentuk tindakan dimulai dari melihat, berlanjut ke meraba hingga melakukan kekerasan seksual. Selanjutnya, melihat dengan penuh seksis, menatap ke wilayah kelamin (selangkangan), mempertontonkan atau menyebarkan pornografi. Yang terakhir meraba dengan menyentuh organ tubuh tertentu yang tidak diinginkan, seperti memegang tangan korban, mencolek, mencium, memeluk, memegang alat vital, melakukan masturbasi di hadapan orang lain, dan diminta bergaya seperti orang melakukan hubungan seks.
3.2. PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL
Dalam konteks pencegahan terjadinya kekerasasan seksual di dunia kampus sepertinya butuh perhatian serius dari para pengambil kebijakan di Perguruan Tinggi. Langkah preventif yang pertama harus dilakukan adalah memberikan pemahaman kepada seluruh civitas kampus mengenai informasi bentuk-bentuk pelecehan seksual yang dapat mengarah pada kekerasan seksual di Kampus. Sosialisasi bahkan internalisasi ini penting bagi seluruh civitas akademik, terkhusus mahasiswa agar mereka dapat melakukan pencegahan secara mandiri. Kategori upaya preventif semodel ini bagian dari konseling behavioral. Tujuannya agar tercipta suasana kampus yang kondusif untuk terjadinya upaya pencegahan peristiwa kekerasan seksual secara mandiri melalui teknik implosif, asertif dan pengondisian aversi.4 Teknikteknik ini dimungkinkan dapat mengkondisikan perilaku masyarakat kampus untuk menjauh dari model-model perilaku yang bisa mengarah pada terjadnya kekerasan seksual. Pelaksanaannya bisa dilakukan pada momentum kegiatan resmi awal memasuki dunia kampus, semisal momentum PBAK, OPAB, atau melalui penyebaran buku saku.
Penjelasan mengenai cara perlawanan juga disampaikan secara sederhana. Penanggulangan kekerasan seksual dibagi menjadi 2 cakupan, yaitu hal yang bisa dilakukan untuk jangka panjang dan hal yang dilakukan untuk jangka pendek maupun spontanitas. Hal yang bisa dilakuakan jangka panjang adalah merubah pola pikir masyarakat terkait konstruksi dominan laki-laki dan perempuan. Perubahan tersebut dilakukan dengan counter wacana dominan melalui berbagai macam hal. Dalam lingkup akademis, penelitian terkait permasalahan gender maupun pelecehan dan kekerasan seksual menjadi hal yang sangat dianjurkan untuk dilakukan. Hal ini dilakukan karena konstruksi sosial dominan terkait gender merupakan kebenaran yang seolah menjadi sesuatu yang “given”. Konstruksi sosial berasal dari pengetahuan yang dibenarkan oleh mayoritas masyarakat yang biasanya menjadi kebenaran tunggal. Hal berikutnya adalah mendorong kampus yang belum memiliki wadah pengaduan pelecehan seksual untuk membuat bagian khusus yang menangani permasalahan tersebut. Ini bisa dilakukan dengan menyampaikan aspirasi melalui kerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa, Senat kampus, ataupun secara personal dengan pihak penentu kebijakan di kampus. Wadah pengaduan ini diharapkan juga melakukan pendampingan pada korban kekerasan seksual dan menjadi tim yang menyelidiki kebenaran dari suatu kasus. Alasan utama untuk membentuk bagaian konseling kekerasan seksual di kampus bila belum ditemukan kasus kekerasan atau pelecehan seksual di kampus adalah, mencegah lebih baik daripada memperbaiki. Hal itu ditujukan agar lingkungan akademis berjalan menuju kampus yang bersih dari kekerasan seksual yang didasari oleh kesadaran tiap individunya.
Pencegahan kekerasan seksual akan lebih efektif dan efesien bila mana seseorang atau individu saling bekerja sama untuk memerangi kekerasan seksual. Salah satu caranya adalah membentuk budaya kemanusiaan pada tiap-tiap individu yang juga diterapkan dalam lingkungan akademis. Fungsi pengawasan antara pihak satu dengan yang lainnya hanyalah upaya untuk mereduksi atau mencegah secara peran individu yang paham aturan terkait kekerasan seksual. Namun yang lebih jauh diperlukan adalah kesadaran atas memanusiakan manusia itu sendiri.
3.3. PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL
Selain peran korban yang sangat penting dalam penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi, peran serta pemerintah serta pihak kampus juga mempunyai peran yang penting dalam penanganan kekerasan seksual diperguruan tinggi. Oleh karena itu, pada 31 Agustus 2021 dalam rangka pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang kerap sekali terjadi dilingkungan perguruan tinggi, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) mengeluarkan peraturan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Tujuan utama dari peraturan ini adalah memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dilingkungan perguruan tinggi. Pasal 10 permendikbudristek tersebut mengatur bahwa perguruan tinggi wajib melakukan penanganan kekerasan seksual melalui pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administratif, dan pemulihan korban.
Kasus kekerasan seksual yang dilaporkan oleh korban kepada kampus, harus mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat. Pelayanan yang diberikan dapat berbentuk layanan medis, psikologis, konseling, pendampingan, dan penyediaan tempat tinggal bekerjasama dengan pihak lain. Adapun proses pelaporan, dimulai dengan korban melapor ke wakil dekan bidang kemahasiswaaan yag sekaligus menjadi tempat unit layanan terpadu di fakultas. Dari fakultas dilanjutkan dengan laporan ke wakil rektor bidang kemahasiswaan. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan, persidangan, dan sanksi oleh Senat Universitas, yang diakhiri dengan adanya keputusan rektor untuk merespon kasus tersebut. Alur pelaporan seharusnya dipahami dengan baik oleh korban dan dijalankan dengan penuh amanah oleh para stakeholder yang terlibat dalam penanganan tersebut. Kampus berkewajiban untuk menerapkan aturan tersebut dengan baik dan tegas terhadap pelaku serta mengikat semua civitas akademika.
karya: sahabat gama